Hubungi saya via WA di bawah ini

KONSEP AQIDAH ASY'ARIYAH



KONSEP AQIDAH ASY’ARIYAH

Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok-kelompok  keagamaan yang berkembang pada masa itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan manusia, keduanya saling berseberangan. Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedangkan kelompok Qadariyah memandang bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah.
Dengan begitu, bagi Jabariyah kekuasaan Allah adalah mutlak dan bagi Qadariyah kekuasaan Allah terbatas.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy’ari, perbuatan manusia diciptkan oleh Allah namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut, aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya. Dalam konteks kehidupan sekarang, aqidah Asy’ariyah, paling memungkinka dijadikan landasan memajukan bangsa. Dari persoalan ekonomi, budaya, kebangsaan sampai memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan kekinian, seperti HAM, kesehatan, gender, otonomi daerah dan sebagainya.
Sikap tasammuh (toleransi) ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan antara lain ditunjukkan dalam konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi Mu’tazilah, Tuhan wajib berlaku adil dalam memperlakukan makhluk-Nya. Tuhan waji memasukkan orang baik ke dalam surga dan memasukkan ornag jahat ke dalam neraka. Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah. Alasannya, kewajiban berarti telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padahal Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam al-Qur’an Allah berjanji akan memasukkan orang yang baik dalam surga dan orang yang jahat ke dalam neraka, namun tidak berarti kekuasaan Allah terbatasi. Segala keputusan tetap ada pada kekuasaan Allah.
Jika dalam paham Mu’tazilah posisi akal di atas wahyu, Asy’ariyah berpendapat wahyu di atas akal. Moderasi ditunjukkan oleh Asy’ariyah. Ia berpendapat bahwa meskipun wahyu di atas akal, namu akal tetap diperlukan dalam memahami wahyu. Jika akal tidak mampu memahami wahyu, maka akal harus tunduk dan mengikuti wahyu. Karena kemampuan akal terbatas, maka tidak semua yang terdapat dalam wahyu dapat dipahami oleh akal dan kemudian dipaksakan sesuai dengan pendapat akal.
Dengan demikian, bagi Asy’ariyah rasionalitas tidak ditolak. Kerja-kerja rasional dihormati sebagai penerjemaha dan penafsiran wahyu dalam kerangka untuk menentukan langkah-langkah ke dalam pelaksanaan sisi kehidupan manusia. Yakni bagaimana pesan-pesan wahyu dapat diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah pengejawantahan dari pesan al-Qur’an bahwa risalah Islam adalah rahmatan li al-‘Alamin. Namun, agar aspek-aspek rasionallitas itu tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan seluruh kerja rasio di bawah kontrol wahyu.
Masalah adanya sifat Allah, Mu’tazilah hanya mengakui sifat wujud Allah. Sementara, Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Walaupun sifat tidak sama dengan dzat-Nya, tetapi sifat adalah qadim dan azali. Allah mengetahui, misalnya, bukan dengan pengetahuan-Nya, akan tetapi dengan sifat ilmu-Nya. Dalam memahami sifat Allah yang Qadim ini, Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam, satu misal, adalah sifat Allah yang qadim dan azali, karena itu al-Qur’an sebagai kalam Allah adalah qadim, al-Qur’an bukan makhluk. Jadi ia tidak diciptakan.
Share on Google Plus

About SANTRI

0 komentar:

Posting Komentar