KONSEP AQIDAH ASY’ARIYAH
Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan
tengah (tawasuth) di antara kelompok-kelompok
keagamaan yang berkembang pada masa itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan
Qadariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan
manusia, keduanya saling berseberangan. Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa
seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki
peranan apapun. Sedangkan kelompok Qadariyah memandang bahwa perbuatan manusia
diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah.
Dengan begitu, bagi Jabariyah
kekuasaan Allah adalah mutlak dan bagi Qadariyah kekuasaan Allah terbatas.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh
Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy’ari, perbuatan manusia
diciptkan oleh Allah namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb
memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga
memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut,
aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam
kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan
semuanya. Dalam konteks kehidupan sekarang, aqidah Asy’ariyah, paling
memungkinka dijadikan landasan memajukan bangsa. Dari persoalan ekonomi,
budaya, kebangsaan sampai memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan kekinian,
seperti HAM, kesehatan, gender, otonomi daerah dan sebagainya.
Sikap tasammuh (toleransi)
ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan antara lain ditunjukkan dalam konsep kekuasaan
mutlak Tuhan. Bagi Mu’tazilah, Tuhan wajib berlaku adil dalam memperlakukan
makhluk-Nya. Tuhan waji memasukkan orang baik ke dalam surga dan memasukkan
ornag jahat ke dalam neraka. Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah. Alasannya,
kewajiban berarti telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padahal
Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan
kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam al-Qur’an Allah berjanji akan memasukkan orang
yang baik dalam surga dan orang yang jahat ke dalam neraka, namun tidak berarti
kekuasaan Allah terbatasi. Segala keputusan tetap ada pada kekuasaan Allah.
Jika dalam paham Mu’tazilah
posisi akal di atas wahyu, Asy’ariyah berpendapat wahyu di atas akal. Moderasi
ditunjukkan oleh Asy’ariyah. Ia berpendapat bahwa meskipun wahyu di atas akal,
namu akal tetap diperlukan dalam memahami wahyu. Jika akal tidak mampu memahami
wahyu, maka akal harus tunduk dan mengikuti wahyu. Karena kemampuan akal
terbatas, maka tidak semua yang terdapat dalam wahyu dapat dipahami oleh akal
dan kemudian dipaksakan sesuai dengan pendapat akal.
Dengan demikian, bagi Asy’ariyah
rasionalitas tidak ditolak. Kerja-kerja rasional dihormati sebagai penerjemaha
dan penafsiran wahyu dalam kerangka untuk menentukan langkah-langkah ke dalam
pelaksanaan sisi kehidupan manusia. Yakni bagaimana pesan-pesan wahyu dapat
diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah pengejawantahan dari pesan al-Qur’an
bahwa risalah Islam adalah rahmatan li al-‘Alamin. Namun, agar aspek-aspek
rasionallitas itu tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan
seluruh kerja rasio di bawah kontrol wahyu.
Masalah adanya sifat Allah, Mu’tazilah
hanya mengakui sifat wujud Allah. Sementara, Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah
memiliki sifat. Walaupun sifat tidak sama dengan dzat-Nya, tetapi sifat adalah
qadim dan azali. Allah mengetahui, misalnya, bukan dengan pengetahuan-Nya, akan
tetapi dengan sifat ilmu-Nya. Dalam memahami sifat Allah yang Qadim ini, Asy’ariyah
berpendapat bahwa kalam, satu misal, adalah sifat Allah yang qadim dan azali,
karena itu al-Qur’an sebagai kalam Allah adalah qadim, al-Qur’an bukan makhluk.
Jadi ia tidak diciptakan.
0 komentar:
Posting Komentar