Hubungi saya via WA di bawah ini

SUMBER AJARAN ASWAJA



Sumber Ajaran ASWAJA An-Nahdliyah
Prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlussunnah wa al-jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul Ulama amat bergantung pada pola pemecahan masalahnya antara : Pola maudhu’iyah (tematik) dan terapan (qonuniyah) dan waqi’iyah (kasuistik). Pola maudhu’iyah pendeskripsian masalahnya berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran Islam dikaitkan dengan kepentingan terapan hukum positif (RUU/Raperda), maka pendekatan masalahnya berintikan “tathbiq al-syari’ah” disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual (waqi’iyah) yang bersifat regional (kedaerahan) atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode takhayyur (ekletif) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instan).
Berikut ini diuraikan cara merujuk (menggali sumber referensi) dan langkah istinbath (deduktif) atau istidlal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlussunnah wa al-jama’ah.
A.Madzhab Qauli
    Pendapat atau pandangan keagamaan ulam yang teridentitas sebagai “Ulama Sunn” dikutip secara utuh qaulnya dari kitab mu’tabar dalam madzhab. Seperti mengutip dari kitab “Al-Iqtishad fi al-i’tiqad” karangan Abu Hamid al-Ghazali yang menjabarkan paham aqidah Asy’ariyah atau kitab “Al-Umm” yang menghimpun qaul Imam Syafi’i. Sekira umat diperlukan perluasan doktrin (elaborasi) seyogyanya merujuk ke kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni dalam madzhab yang sama. Seperti kitab “al-Majmu’” karya Imam al-Nawawi yang mengulang pandangan fiqh Imam al-Syairazi dalam al-Muhadzab.
Agar terjaga keutuhan paham madzhab sunni harus dihindarkan pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang penulisannya bermadzhab lain. Misalnya mengutip pendapat Imam malik dari kitab Fiqhul al Sunnah karya Sayyid Sabiq, atau pensyarahan atas hadis koleksi Ibnu Daqiq al-Ied bertitel Muntaqa al-Akhbar dari ulasan al-Syaukani dalam Nayl al-Awthar.
B.Madzhab Manhaji
    Ketika upaya merespon masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’i berupa kutipan ayat al-Qur’an, nuqilan matan sunnah atau hadis, untuk mewujudkan citra mahafazhah maka langkah kerjanya sebagai berikut:
Pertama, Kutipan ayat dari mushaf dengan rasam utsmaniy langkap petunjuk nama surah dan nomor urut ayat serta menyertakan terjemah standard eks Departemen Agama R.I.; Kutip pula tafsir atas ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari kitab tafsir yang tergolong mu’tabar. Keunggulan tafsir bisa ditelusuri dari Sumber dan media yang diperantukan serta penerapan kaidah istinbath atas nash ungkapan al-Qur’an. Integritas mufassir sebagai ulama sunni diperlukan sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan. Sebagaimana diketahui pada jajaran ulama Syi’ah Imaniyah (Ja’fariyah dan Itsna’ Asy’ariyah) telah memperluas sifat kema’shuman melampau wilayah nubuwwah, dan terjadi pentakwilan oleh ulama bathiniyah yang keluar dari bingkai aqidah Ahlussunnah wa al-jama’ah.
Kedua, Penukilan matan sunnah/hadis harus berasal dari kitab ushulul-hadis (kitab hadis standar) berikut mencantumkan narasumber Nabi atau Rasulullah SAW. Serta nama periwayat /nama mukharrij (kolektor). Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadis sebagai hujjah syar’iyyah harus mempertimbangkan data hasil uji kehujjahan sebagai shahih, hasan atau dha’if. Penarikan kesimpulan atas konsep substansi nash bermuara pada pensyarahan oleh Muhaddisin yang paham keagamaannya diakui sunni.
Ketiga, Pengutipan ijma’ perlu memisahkann kategori ijma’ shahabi yang diakui tertinggi mutu kehujjahannya dari ijma’ mujtahidin. Sumber pengutipan ijma’ sebaiknya mengacu pada kitab karya mujtahid muharrir madzhab seperti Imam Nawawi dan lain-lain. Pengintegrasian tafsir untuk ayat yang dirujuk berikut data kritik serta syarah hadis guna mengimbangi kondisi para pelaku penggalian ajaran dengan cara manhaji pada masa sekarang belum memenuhi kualifikasi mujtahid level manapun.
C.Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi
    Pada tataran aplikasi hukum (tathabiq al-Syar’iyyah) terkait proses penyusunan RUU/Raperda mungkin pilihan jatuh pada kreasi pengembangan asas-asas ijtihad yang dikenal luas pada jajaran ulama Sunni. Misalnya: ‘Umumu al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul Tabi’in, Mura’atu al-Khilaf, Kondisi dharurat, asas ‘Uruf/Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah, Istihsan, Syar’ul al-Dzara’i, Istihab, Mashalih Mursalah, maqashid al-syari’ah, Siyasah Syar’iah dan lain sebagainya.
Operasionalisasi asas-asas ijtihad tersebut perlu didukung kearifan mengenali bobot masalah ijtihadiyah terutama: Frame (bingkai) masalah, Konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau kebijakan publik, dampak pada sektor aqidah dan ghirah diniyah, kadar kesulitan dalam pelaksanaan, membuka peluang hilah hukum dan resiko berjangka panjang. Oleh karena itu kompleksitas masalah di negara plural agamanya, maka perumusa hukum yang memberdayakan asas ijtihad harus dilakukan secara kolektif (jama’iy) dan terjamin taat kaidah istidlal.

Share on Google Plus

About SANTRI

0 komentar:

Posting Komentar