Prosedur perumusan hukum dan
ajaran Ahlussunnah wa al-jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul Ulama amat
bergantung pada pola pemecahan masalahnya antara : Pola maudhu’iyah (tematik)
dan terapan (qonuniyah) dan waqi’iyah (kasuistik). Pola maudhu’iyah
pendeskripsian masalahnya berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika
rumusan hukum atau ajaran Islam dikaitkan dengan kepentingan terapan hukum
positif (RUU/Raperda), maka pendekatan masalahnya berintikan “tathbiq al-syari’ah”
disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya
sebatas merespon kejadian faktual (waqi’iyah) yang bersifat regional
(kedaerahan) atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode takhayyur
(ekletif) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instan).
Berikut ini diuraikan cara
merujuk (menggali sumber referensi) dan langkah istinbath (deduktif) atau
istidlal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan nahdlatul Ulama dalam
mengembangkan paham Ahlussunnah wa al-jama’ah.
A.Madzhab Qauli
Pendapat atau pandangan keagamaan ulam yang
teridentitas sebagai “Ulama Sunn” dikutip secara utuh qaulnya dari kitab mu’tabar
dalam madzhab. Seperti mengutip dari kitab “Al-Iqtishad fi al-i’tiqad” karangan
Abu Hamid al-Ghazali yang menjabarkan paham aqidah Asy’ariyah atau kitab “Al-Umm”
yang menghimpun qaul Imam Syafi’i. Sekira umat diperlukan perluasan doktrin
(elaborasi) seyogyanya merujuk ke kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni
dalam madzhab yang sama. Seperti kitab “al-Majmu’” karya Imam al-Nawawi yang
mengulang pandangan fiqh Imam al-Syairazi dalam al-Muhadzab.
Agar terjaga keutuhan paham
madzhab sunni harus dihindarkan pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang
penulisannya bermadzhab lain. Misalnya mengutip pendapat Imam malik dari kitab
Fiqhul al Sunnah karya Sayyid Sabiq, atau pensyarahan atas hadis koleksi Ibnu
Daqiq al-Ied bertitel Muntaqa al-Akhbar dari ulasan al-Syaukani dalam Nayl
al-Awthar.
B.Madzhab Manhaji
Ketika upaya merespon masalah kasuistik
dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’i berupa kutipan ayat al-Qur’an,
nuqilan matan sunnah atau hadis, untuk mewujudkan citra mahafazhah maka langkah
kerjanya sebagai berikut:
Pertama, Kutipan ayat dari mushaf
dengan rasam utsmaniy langkap petunjuk nama surah dan nomor urut ayat serta
menyertakan terjemah standard eks Departemen Agama R.I.; Kutip pula tafsir atas
ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari kitab tafsir yang tergolong mu’tabar.
Keunggulan tafsir bisa ditelusuri dari Sumber dan media yang diperantukan serta
penerapan kaidah istinbath atas nash ungkapan al-Qur’an. Integritas mufassir sebagai
ulama sunni diperlukan sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan. Sebagaimana
diketahui pada jajaran ulama Syi’ah Imaniyah (Ja’fariyah dan Itsna’ Asy’ariyah)
telah memperluas sifat kema’shuman melampau wilayah nubuwwah, dan terjadi
pentakwilan oleh ulama bathiniyah yang keluar dari bingkai aqidah Ahlussunnah
wa al-jama’ah.
Kedua, Penukilan matan
sunnah/hadis harus berasal dari kitab ushulul-hadis (kitab hadis standar)
berikut mencantumkan narasumber Nabi atau Rasulullah SAW. Serta nama periwayat
/nama mukharrij (kolektor). Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadis sebagai
hujjah syar’iyyah harus mempertimbangkan data hasil uji kehujjahan sebagai
shahih, hasan atau dha’if. Penarikan kesimpulan atas konsep substansi nash
bermuara pada pensyarahan oleh Muhaddisin yang paham keagamaannya diakui sunni.
Ketiga, Pengutipan ijma’ perlu
memisahkann kategori ijma’ shahabi yang diakui tertinggi mutu kehujjahannya
dari ijma’ mujtahidin. Sumber pengutipan ijma’ sebaiknya mengacu pada kitab
karya mujtahid muharrir madzhab seperti Imam Nawawi dan lain-lain. Pengintegrasian
tafsir untuk ayat yang dirujuk berikut data kritik serta syarah hadis guna
mengimbangi kondisi para pelaku penggalian ajaran dengan cara manhaji pada masa
sekarang belum memenuhi kualifikasi mujtahid level manapun.
C.Pengembangan Asas Ijtihad
Madzhabi
Pada tataran aplikasi hukum (tathabiq
al-Syar’iyyah) terkait proses penyusunan RUU/Raperda mungkin pilihan jatuh pada
kreasi pengembangan asas-asas ijtihad yang dikenal luas pada jajaran ulama
Sunni. Misalnya: ‘Umumu al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul Tabi’in, Mura’atu
al-Khilaf, Kondisi dharurat, asas ‘Uruf/Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah,
Istihsan, Syar’ul al-Dzara’i, Istihab, Mashalih Mursalah, maqashid al-syari’ah,
Siyasah Syar’iah dan lain sebagainya.
Operasionalisasi asas-asas
ijtihad tersebut perlu didukung kearifan mengenali bobot masalah ijtihadiyah terutama:
Frame (bingkai) masalah, Konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau
kebijakan publik, dampak pada sektor aqidah dan ghirah diniyah, kadar kesulitan
dalam pelaksanaan, membuka peluang hilah hukum dan resiko berjangka panjang. Oleh
karena itu kompleksitas masalah di negara plural agamanya, maka perumusa hukum
yang memberdayakan asas ijtihad harus dilakukan secara kolektif (jama’iy) dan
terjamin taat kaidah istidlal.
0 komentar:
Posting Komentar